Hati
 berdebar senang tiap menunggu kedatangannya.
Khawatir jika dia berkata tak enak badan.
Gelisah saat dia mulai jarang tertawa.
Khawatir jika dia berkata tak enak badan.
Gelisah saat dia mulai jarang tertawa.
Apakah dia sudah tidak lagi berbahagia bersamaku?
Membayangkan
 dia berpaling kelain hati dan pergi meninggalkanku, memikirkan 
bagaimana rupanya jika hidup tanpanya, getir rasanya.
Membuat kita bersikap semanis mungkin, agar dia tak tergoda jutaan gula-gula lain diluar sana.
Perasaan ini tatkala membuatku ingin tampil layaknya manusia tanpa cela agar dia terus menatap dan mengagumiku.
Berperilaku layaknya dewa agar seakan akulah satu2nya mahluk paling sempurna yang bisa dia puja.
Saat dia mengatakan bahwa dia sungguh beruntung memilikiku, hatiku berbisik 'Benarkah?'
Perasaan ini tatkala membuatku ingin tampil layaknya manusia tanpa cela agar dia terus menatap dan mengagumiku.
Berperilaku layaknya dewa agar seakan akulah satu2nya mahluk paling sempurna yang bisa dia puja.
Saat dia mengatakan bahwa dia sungguh beruntung memilikiku, hatiku berbisik 'Benarkah?'
Tak perlukah lagi aku ikut menari hanya untuk membuatnya tersenyum?
Sudah cukupkah puji yang ku lontarkan kepadanya?
Apakah dia titisan Tuhan, untuk melengkapi hidup bahagiaku yang selama ini ternyata belum sempurna?
Yakinkah
 kau, Murni, bahwa tak ada sepasang sayap putih yang berbulu lembut dan 
menyebarkan bau harum semerbak yang dapat membuatmu kembali ke khayangan
 tempat asalmu dengan sekali kepak dibalik bajumu yang sederhana itu?
Biarkan aku melihatnya, untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Perbuatan suci apakah yang telah aku lakukan hingga Tuhan merasa aku layak memilikimu?
Bagaikan
 seekor anjing kecil, kuikuti kemanapun dia pergi. Ke bawah 
jendela, ke belakang pintu, ditengah pusara kolam, diatas tangga-tangga curam,
 dibalik tirai-tirai panjang yang menampilkan siluet tubuhnya yang berlekuk 
indah dengan tangan menengadah menari, melukis, mewarnai dan memasang 
pelangi.
"Aku senang berbincang denganmu, tapi aku harus bekerja" ujarnya
"Bekerja lah. Kamu bisa tetap bekerja meski sambil berbincang denganku, bukan? Aku takkan mengganggumu" jawabku
"Jika
 kau berada disini, aku tak bisa memukan iramaku dan bersenandung, jika 
aku tak bersenandung, maka tugasku tidak akan selesai. Lalu buat apa aku
 disini?" ujarnya lagi
"Baiklah jika itu mau mu" jawabku sambil tersenyum menutupi kekecewaan, berpaling memunggunginya siap pergi berlalu
"Jangan bersedih." Cegahnya lembut. "Aku tak bermaksut menyakitimu."
"Aku
 mengerti." Jawabku memandang mata cokelatnya yang temaram sambil tersenyum, 
"Berjanjilah padaku jika kau sudah selesai dengan tugasmu, kau akan 
berbincang denganku"
"Aku berjanji" jawabnya lagi, tersenyum lebar sedikit malu.
Maka
 aku kembali ke tempatku, menunggunya, sambil mendengarkan senandung 
kecil dengan iringan suara merdu harpa emasnya selagi bekerja, dari atas
 awan.
***
Terinspirasi
 dari seorang wanita bernama Murni, usianya 37tahun. Kulitnya sawo 
matang, berambut lebat, ikal kering dan gembal membuat wajah lonjongnya yang 
ramah khas Jawa Tengah terlihat sedap saat tertawa lepas. Selera humornya 
tinggi, sama seperti saya. Sedikit gemuk namun gerakannya gesit dan 
cekatan. Tak terlalu cantik, namun selalu membuat saya bisa tersenyum 
berbunga2 dengan mata berbinar tanpa sadar setiap kali saya 
membicarakannya, menyiratkan akan ketertarikan saya, akan kecintaan saya
 yang terus tumbuh setiap harinya, sejak pertama kali saya mengenalnya 
beberapa hari lalu.
Murni, panjanglah umurmu, sehatlah selalu, agar tetap menceriakan hariku dan menyenyakkan tidurku. Bersamamu, aku tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar