Sabtu, 02 Februari 2013

Cerpen : Ketika Harus Memilih

Amanda memandang pantulan dirinya di depan cermin sekali lagi, memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna. Dia tarik sarung tangannya lebih tinggi, dan mengencangkan pita dibelakang pinggangnya. Memandang wajahnya lebih dekat, memastikan make up dan tatanan rambutnya sudah sesuai dengan yang dia inginkan. Ini hari yang dia begitu tunggu2, hari yang dia bayangkan sejak kecil, dia imajinasikan, dia impi2kan. Hari istimewa bagi setiap wanita.
Dia memandang keluar melalui jendela, tempat dimana dia akan menghabiskan sorenya kedepan, jajaran meja persegi berisikan makanan, dan barisan puluhan kursi yang akan diisi orang2 terdekatnya untuk berbagi kebahagiaan menyaksikan hari spesialnya ini.
Dia memperhatikan meja bundar itu, dimana terdapat banyak gelas2 ramping yang tersusun menjulang keatas, para staff berambut licin dengan seragam rapih putih bergaris biru sibuk mengisi champagne kuning keemasan berbuih putih kedalamnya sesempurna mungkin, memastikan tidak ada yang menetes diatas taplak sutera berwarna biru langit yang menjadi alas dibawahnya.

"So there you are" Suara lembut yang tegas itu secara tiba2 membuyarkan lamunannya, Amanda tahu dia akan datang, namun Amanda tetap pada posisinya, tidak bergeming. "I'm not gonna say this twice," ujar suara dari sosok dibelakangnya itu lagi "If you really feel this is not right, then you can turn around, back to me, and runaway from here, with me, right now" Amanda tetap diam, berusaha tetap tenang dan seakan masih melihat keluar sementara sebenarnya perasaannya telah campur aduk. "Sebelum semuanya terlambat" lanjut sosok itu lagi.
Amanda menoleh. "Sorry, I'm not gonna do that." Amanda memandangnya langsung pada mata lawan bicaranya yang berwarna cokelat, yang begitu teduh, yang selalu menenangkan, yang telah membuatnya jatuh cinta bertahun2 lalu.
"Lalu, apa alasan kamu meninggalkan pesan yang kamu bilang penting untuk segera menghubungi kamu, Amanda, jika bukan ingin aku selamatkan dari semua ini?" tanyanya.
Amanda tercekat, namun berusaha tetap terlihat dalam kendali "Aku justru mau kasih tahu kamu, bahwa aku telah memilih dia, aku telah memilih jalan hidupku, bahwa aku memutuskan untuk melupakan kamu, dan aku sudah terlalu lelah untuk berbohong pada teman2 kita, keluarga kita, bahkan pada orang tua bahwa tidak ada yang istimewa diantara kita" airmatanya menggenang di kelopak matanya, Amanda mengerjapkannya beberapa kali agar airmata itu menghilang dan tak menetes.
"Amanda, aku melakukan itu karena kamu bilang belum siap untuk mengungkapkan semuanya, bukan aku yang memilih untuk menyembunyikan hubungan ini. Aku melakukannya untuk kamu, dan aku yakin kamu tahu itu!" Ada nada ketegangan dalam suaranya. Amanda terdiam, dadanya terasa sesak. "Kamu udah bikin aku terbang dua puluh kilometer jauhnya kesini, melintasi benua, meninggalkan beberapa persidangan dari kasus penting yang aku pegang dalam pekerjaanku hanya untuk memberitahu aku bahwa kamu akan menikah dengan pria yang tidak kamu cintai, di hari anniversary kita? Seriously? Dari 365hari yang ada, lalu kamu pilih hari ini? Hari yang selalu kita peringati bersama disetiap tahunnya dalam delapan tahun terakhir? What kind of joke is this?" Amanda melihat tangan lawan bicaranya mengepal, terlihat begitu kesal.
"I'm sorry, Sam. I'm telling you, I'm gonna marry him, and I'm gonna stay in this country, I'm gonna leave all my memories with you. And you're not gonna make me cry on my wedding day!" Amanda merasakan dagunya gemetar, dia menggigit bibirnya, menahan tangis.
"No, Amanda. I know you're lying. I know you don't want this. Dan kamu ngelakuin ini semua hanya demi orangtua kamu. Kamu patut mendapatkan kebahagiaan, more than this whole fake bullshit things! Let's start over, with me, Sayang." langkahnya mendekat
"Stop, stay there, jangan mendekat, Sam" Amanda mundur selangkah lalu berbalik, memandang lagi keluar, dimana bunga2 putih menghampar diseluruh rumput hijau dengan karpet menuju ke altar. Bel gereja berdentang empat kali, menandakan upacaranya akan segera dimulai.
"Baik kalau begitu. So, I need you to look me in the eyes. Tell me that you don't love me, that you don't want me, that I mean nothing for you. Do it now, lalu aku akan pergi dari kehidupan kamu, selamanya." ujarnya pada Amanda.
Ada jeda yang begitu panjang, kesunyian menyesap diantara mereka, Amanda merasa aliran darahnya bederu begitu cepat berjalan keatas tubuhnya, mengalirkannya keotak agar dapat berpikir dan merespon lebih cepat, namun kalimat itu begitu sulit keluar dari mulutnya, seperti tercekat di tenggorokan. Ada rasa panas menjalar ke wajah serta di kelopak matanya. Amanda menarik napas, sementara sosok dibelakangnya masih berdiri menunggu, takkan pergi sebelum mendengar jawabannya, jawaban yang bahkan Amanda sendiri tak ingin dengar, dan yakin bahwa lawan bicaranya memiliki keinginan yang sama dengan Amanda. Kesunyian itu seakan membuat Amanda dapat mendengar detak jantungnya sendiri "I don't love you, Sam. I'm so sorry" kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar tidak terlalu meyakinkan. Amanda jelas berbohong. Amanda memandang lawan bicaranya sekilas, lalu menunduk kan kepalanya, tak mampu memandang lawan bicaranya lebih lama, khawatir kebohongannya diketahui dengan begitu mudah. Amanda melihat airmatanya terjatuh ke lantai kayu mengkilap yang berwarna coklat tua yang menjadi pijakannya.
"Well, congratulation. I hope you're happy." Suara lawan bicaranya tercekat, terdengar rapuh dan begitu kecewa. Amanda tetap diam menahan napasnya, agar bahunya tak berguncang. "Have a nice life" ujarnya lagi, lalu terdengar suara langkah kaki menjauh.
Amanda tetap diam disana. Dia tahu dirinya telah berbohong. Dadanya sesak dan hatinya seakan teriris.

Terdengar langkah kaki mendekat, dan sepasang tangan kokoh memeluknya dengan erat dari belakang, menusukkan ujung hidungnya yang runcing ke pipi Amanda dengan lembut. Amanda menghapus airmatanya, lalu menoleh. Pria berjas hitam yang berdiri didepannya itu begitu tampan, dengan matanya yang berbinar karena bahagia.
"Can you believe this? Our big day, Baby." senyum lebarnya menyeringai menghiasi wajahnya yang begitu atletis. "Oh, you look so gorgeous, Baby." Lalu mengecup kening Amanda lembut.
"You too, Partick. You look great as always, Sayang" ujar Amanda melingkarkan kedua lengan dipinggangnya.
"So are you ready for this?" Ujar pria itu.
"Yes, I can't wait any longer!" Jawab Amanda. Lalu Patrick menggandeng tangan Amanda, menemaninya melangkah keluar ruangan menuju ayah Amanda yang telah menunggunya.
"By the way, I saw Sam in the corridor. Dia bilang dia harus pergi. Sayang sekali dia nggak bisa lihat upacara pernikahan kita" Tanya Patrick.
"Yeah, too bad." ujar Amanda datar. Berbohong lagi.
Patrick berpaling menatap wajah Amanda, menurunkan kain hiasan kepala menutupi wajahnya. "Aku tunggu kamu di altar." Ujarnya, lalu meninggal Amanda bersama ayahnya untuk berjalan menuju altar saat musik dimulai.
Amanda mengucapkan 'I do' lalu pendeta mengesahkan mereka menjadi suami istri, lalu mereka diperkenankan berciuman.
Amanda dapat melihatnya, Sam, memandangnya dari kejauhan, lalu berjalan menjauh meninggalkan area pesta pernikahannya dengan mobil dengan kap terbuka, membiarkan angin sore menghembus melewati rambutnya yang dikuncir ekor kuda. Amanda ingat betapa dia menyukai aroma lavender yang selalu tercium dari rambut Sam saat Sam berada disekitarnya, dia yakin dia akan sangat merindukannya, Samantha, teman wanita yang sebenarnya begitu dicintainya itu.

----

Ketika semua orang merasa pantas untuk menilai orang lain. Dimana ada hal2 yang dianggap begitu tabu.
Bukankah kita semua patut berbahagia, dengan apapun kenyataannya, bagaimanapun perasaan yang kita miliki, siapapun orang yang kita pilih, demi mendapatkan kebahagiaan versi kita masing2?
Bagaimana dengan kamu??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar