Dia membuka matanya yang telah lama rapat terpejam, mengecup kedua jemarinya yang bertaut begitu erat hingga daging dagingnya memutih dan diletakan didepan dada sambil mengucapkan kata-kata yang hanya bisa didengar olehnya dengan begitu bersungguh-sungguh berulang ulang, lalu bangkit dari tumpuan lututnya sambil menyeka airmatanya perlahan. Berdiri tegak, berbalik, menoleh kembali ke patung dewa-dewa yang terpajang kokoh, kaku dan diam disamping dupa2 dan bertabur bunga dengan lilin lilin dengan api keemasan yang tak henti menari diatas piring perak besar berkilauan sekali lagi, berharap para dewa mendengar doa yang baru saja dia panjatkan sepanjang malam sebulan terakhir, meninggalkan kuil menuju delapan dayang-dayang yang setia menemaninya kemanapun dia pergi, menimbulkan dentaman langkah-langkah pelan yang teratur melewati pilar-pilar kokoh tinggi disekeliling istana dari balik jendela-jendela besar berpermata.
Dua dari enam penjaga pintu berbaju besi telah menjaga pintu agar terbuka lebar sejak melihatnya muncul diujung lorong, membungkuk hormat tanpa berani memandang matanya karena itu akan dianggap tidak hormat dan takkan bangkit hingga dia lewat.
Dia tersenyum sedikit kepada mereka meski itu tidak diharuskan, menaiki tangga pualam yang melingkar lingkar dengan elok dan begitu tinggi hingga seakan menuju keujung langit, tempat dimana anak-anak lelakinya bermain. Memeluk mereka satu persatu dan mencium kening-kening putih berdaging lembut dengan pipi bulat kemerahan. Terdengar derak derak sepatu kuda dari kejauhan, membuat ketiga anak lelakinya sontak melempar apa yang mereka pegang dan menarik narik gaun panjang ibunya. Memandangnya penuh harap dengat mata bulat sepenuh bulan purnama menyiratkan pertanyaan yang dia sudah tau apa.
Dia tersenyum, anggukannya membuat ketiga anaknya bersorakan.
Derap langkah menaiki tangga terdengar semakin mendekat. Dia duduk tenang diatas kursi panjang berbalut kain sehalus beludru merah keemasan dan menarik napas panjang sambil membetulkan letak ekor gaun putihnya yang selembut sutera, berharap bisa menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Berharap tak ada penghuni istana yang cukup bodoh dan lancang mengatakan dimana dia menghabiskan waktunya sebulan terakhir tanpa diminta.
Seorang pria berbadan tegap dengan mahkota besar diatasnya masuk keruangan, disambut pelukan rindu dari ketiga anak lelakinya yang ditinggal selama berbulan bulan, menggendong mereka sekaligus hanya dengan satu kali rengkuhan dan menciumi mereka seakan tak ada hari esok, membuat ketiga anak itu terbahak bahak mengekspresikan kebahagiaan mereka, layaknya sambutan hangat yang ayahnya selalu bayangkan setiap kali melakukan perjalanan. Pria itu mendekati istrinya, tersenyum lebar memamerkan gigi sempurnanya yang berjejer rapi, seputih tulang dan sekuat gading.
"Tidakkah kamu tahu betapa aku merindukanmu, Permaisuriku?" Ujarnya sambil merengkuh istrinya lembut dan menenggelamkan wajahnya ditengkuk sang istri. Sang istri meraih tangan kokoh suaminya dan menciumnya tiga kali, seperti yang seharusnya, baru saja akan membalas kerinduannya hingga suara lainnya memasuki ruangan.
"Apakah itu suara anakku yang begitu aku rindukan?" Sang putra bangkit tersenyum, wanita paruh baya itu lanjut berkata "Tidakkah kau merindukan ibumu yang tua renta ini, anakku?" Sambil merentangkan tangannya.
Sang anak memeluknya, berlutut dan mencium kedua tangannya tiga kali masing masing secara bergantian seperti yang seharusnya.
"Tentu saja aku merindukanmu, Ibuku. Dan kau tidak tua dan renta, kau masih tetap cantik seperti halnya ketika kau masih menjadi Ratu seperti dulu"
Sang ibu kontan mengerutkan keningnya "Jangan konyol anakku, aku masihlah tetap Ratu diistanamu ini" lalu tersenyum sambil melingkarkan lengan dibalik pinggang putranya seraya mengajaknya beranjak "Tidakkah kau lelah setelah menempuh perjalanan panjang? Mandilah, kau butuh beristirahat, mari berendam, Ibu akan menemanimu dan menggosok punggungmu seperti saat kau kecil dulu, setelah itu akan Ibu siapkan pesta makan malam besar menyambut kepulanganmu, ceritakanlah pada Ibu seperti apa indahnya dunia dibelahan sana" sambil membawa sang anak pergi menjauh.
Sang putra menghentikan langkahnya "Ibu, bisakah aku mencurahkan dulu kerinduanku kepada istri dan ketiga anakku?" Ujarnya sambil setengah membungkuk.
Sang ibu sedikit keberatan namun akhirnya berkata "Ya, ya, tentu saja. Kalau begitu Ibu akan menunggumu di kolam mata air panas. Dan sebaiknya kau tidak biarkan Ibu terlalu lama menunggu"
"Baik Ibu, tentu saja, aku akan segera menyusulmu." Ujarnya sambil mencium kedua tangan ibunya masing masing tiga kali seperti yang seharusnya.
"Sampai mana kita tadi?" Ujar sang suami setelah ibunya pergi.
"Sampai saat aku ingin menciummu" ujar sang istri
"Maka lakukanlah" lalu sang suami memejamkan matanya dan merengkuh lembut wajah istrinya. "Mari, ikutlah ke kolam bersamaku" ujarnya lagi.
"Oh tidak terima kasih. Aku baru saja mandi dan mengenakan korset ini hingga waktu tidur tiba nanti untuk membuatku tetap cantik. Lagi pula, rakyat jelata tidak berbagi air dengan Raja dan Ratu."
"Berhentilah mengatakan itu, kau lah justru satu satunya gadis jelata yang telah memberikanku tiga putra mahkota sekaligus yang akan mewariskan tahtaku dari ratusan wanita yang telah kutemui, kaulah gadis jelata yang sepenuhnya aku cintai dan akhirnya kupilih menjadi satu satunya pendamping setiaku. Kau lah gadis jelata yang aku inginkan untuk bersanding duduk di istanaku. Kaulah gadis jelata yang telah berhasil menjadi pelabuhan cintaku. Aku Raja mereka, namun aku tetaplah suamimu."
"Tidak, sungguh, aku tak apa, temanilah ibumu, aku akan melihat bagaimana naga nagaku"
"Sejak kapan kau mulai tertarik dengan mahluk yang dulu kau selalu sebut buas itu?"
"Sejak kau, Rajaku, telah membuka mataku dan memberikan padaku bayi naga naga mungil seputih awan dengan asap dingin dan airmata rubi yang begitu cantik hingga membuatku jatuh hati."
"Aku senang mendengarnya, aku harap sebentar lagi kau juga akan bergabung mengendarai naga bersamaku dan ketiga putramu, akan lebih menyenangkan dengan kehadiranmu"
"Mungkin saja" ujar sang permaisuri lalu berlalu.
Dan gadis jelata lalu pergi melihat naganya, tentu saja dengan delapan dayang dayang serta selusin prajurit mengikutinya. Memandang kesegala arah mencari sosok lain selain delapan belas naga yang berada disana.
Dia melihatnya dari kejauhan. Dia mengangkat tangannya memberi tanda pada para dayang dan prajurit yang berjalan dibelakangnya.
Diantara pepohonan tinggi menjulang dan rimbunnya dedaunan hijau serta ranting ranting kering yang mencuat tajam. Dia berjalan lebih cepat, daun kering bergemerisik renyah seiring langkah kakinya yang mendekat. Hatinya bersenandung memainkan irama merdu yang dia sendiri tak yakin pernah mendengarnya. Perutnya bergejolak, seakan kian lama rasanya dia sudah tak merasakan sensasi aneh itu dalam dirinya, dan merasa mual lalu ingin muntah.
Lelaki dari kejauhan yang sedang melatih naga itu menoleh, meletakkan keranjangnya berisi apel apel ranum dan menundukan kepalanya seraya berlutut memberi hormat dan tak beranjak beberapa saat.
"Jangan konyol, bangkitlah" ujar sang permaisuri seraya menarik lengan si penjaga naga dan memeluknya erat, tersenyum begitu lebar tanpa ia sadar, "senang bisa bertemu denganmu lagi hari ini. Bukan sudah pernah kukatakan tak perlu kau lakukan itu jika hanya ada aku?"
Si penjaga naga yang berkulit bersih dan bertubuh kurus tersenyum lebar kembali sambil mengangkat keranjang kayunya dan melemparkan isinya satu demi satu kepada naga berkepala kristal "Aku tidak ingin mengambil resiko, bahkan, berbicara sambil terus memandang matamu terasa begitu berat bagiku, seakan sepertinya ajal akan segera menemuiku sepulang nanti"
Sang permaisuri berkata "Tentu saja aku takkan membiarkan mereka melakukan itu, Bodoh" lalu tertawa lepas.
"Whoa, bukankah seorang permaisuri tidak diperkenankan memaki dan berbicara seperti itu?"
Sang permaisuri terdiam "Aku rindu diperlakukan wajar seperti dulu, aku rindu melakukan hal hal sesukaku, biar bagaimanapun aku sama denganmu. Aku masih seperti yang dulu" ujarnya
"Tentu saja, selain hanya kau sekarang memakai benda itu." Si penjaga naga mencibir menatap ujung kepalanya
"Aku berharap tak perlu memakainya, berat rasanya, cobalah" ujarnya sambil meletakan tiara itu dikepala si penjaga naga
"Jangan, aku tidak pantas" ujar si penjaga naga sambil mengelak
"Kalau aku pantas, tentu saja kamu pantas." Dikenakan kembali tiaranya "Apa yang kita bisa lakukan hari ini?"
"Apapun yang kau mau"
"Bisakah kau ajari aku menunggangi naga lagi?" Sang permaisuri berbinar.
"Tentu saja, namun kali ini kau harus benar benar berpegang erat padaku, aku tidak ingin mendapat masalah jika akhirnya kau terjatuh" ujar sang penjaga naga sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Atau bagaimana kalau kita lepas naga naga itu dan berlomba memasukan mereka kembali ke kandang seperti kemarin?"
"Itu juga boleh, apapun yang kau inginkan. Naga putih sudah hampir sembuh seperti sedia kala, maka sebentar lagi jasaku tak akan dibutuhkan"
"Tidak bisa kah kau tetap tinggal?"
"Bukan keputusanku, tentu saja jika Sang Raja menginginkan aku tetap tinggal, maka aku tetap tinggal"
"Akan menjadi berita buruk bagi istrimu"
"Kurasa tidak seburuk itu"
Keduanya berpandangan dan saling menghindar dari tatapan satu sama lain secara bersamaan, saling berpaling dari potongan potongan kenangan masa lalu mereka saat mereka terlalu muda dan saling tak tahu bagaimana kah rupa sang cinta.
"Aku sedikit terkejut setelah tahu kau sudah menikah, yang aku lihat, dulu kau selalu sendirian. Di hutan, di sungai, di kaki gunung, dimana mana, seakan kau selalu ada dimana aku berada" ujar sang permaisuri
"Aku memang mengikutimu" ujar penjaga naga tertawa, seperti lega mengakuinya.
"Jika kau terlalu sibuk mengikutiku, lalu kapan kau mengenal istrimu?"
"Setelah aku tahu bahwa kau dipersunting Sang Raja" ujar sang penjaga naga, pelan.
"Ah ya, lucu sekali" ujar si permaisuri mencibir sambil meninju lengan si penjaga naga perlahan.
"Aku tidak bercanda." Ujarnya sambil menepis tangan si permaisuri dan menggenggamnya erat seperti yang sejak dulu ingin dilakukannya, tak melepasnya, lalu menatap matanya dalam dalam. "Aku menikahinya setelah tahu bahwa kau melahirkan banyak putra mahkota dan tahu harapanku telah habis" lanjutnya.
"Ah ya, tentu saja" ujar sang permaisuri berusaha tetap datar.
Dadanya tiba tiba terasa penuh dan sesak. Sang permaisuri melangkah pergi menjauh dan tak menoleh lagi, tak menghiraukan panggilan si penjaga naga yang terpaku serta pecah berkeping keping hatinya.
Sang permaisuri terus berjalan menjauhi hutan diikuti dayang dayang yang telah diperintahkannya menunggu disetengah perjalanan sambil perlahan mengusap airmatanya yang menganak sungai dan tak berhenti menetes serta merta menangis pilu dari balik kokohnya tembok istana. Teringat doa yang akhir akhir ini dia panjatkan disepanjang malam berulang ulang hingga pagi menjelang, bahwa satu satunya yang dia inginkan, hanyalah si penjaga naga yang begitu sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar